Sejarah Agama Islam

Sabtu, 13 September 2014

Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya

 Sejarah
 



Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya dibangun sejak tanggal 4 Agustus 1995, atas gagasan Wali Kota Surabaya saat itu, H. Soenarto Soemoprawiro. Pembangunan Masjid ini ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Wakil Presiden RI Try Sutrisno. Namun karena krisis moneterpembangunannya dihentikan sementara waktu. Tahun 1999, masjid ini dibangun lagi dan selesai tahun 2001. Pada 10 November 2000, Masjid ini diresmikan oleh Presiden RI KH. Abdurrahman Wahid.

Tanah untuk membangun Masjid Nasional Al Akbar Surabaya (MAS) disediakan oleh Pemda Surabaya (Pemkot Surabaya), dari tanah peruntukkan fasilitas umum ditambah lahan sawah penduduk yang telah dibebaskan hingga luasnya mencapai kurang lebih 11,2 ha yang lokasinya terletak di kawasan Pagesangan Surabaya Selatan, di tepi jalan tol Surabaya – Malang. Keberadaan masjid ini juga sangat khas sebagai gerbang kota Surabaya dari arah Bandara Internasional Juanda. 

Secara fisik, luas bangunan dan fasilitas penunjang MAS adalah 22.300 meter persegi, dengan rincian panjang 147 meter dan lebar 128 meter. Bentuk atap MAS terdiri dari 1 kubah besar yang didukung 4 kubah kecil berbentuk limasan serta 1 menara. Keunikan bentuk kubah MAS ini terletak pada bentuk kubah yang hampir menyerupai setengah telur dengan 1,5 layer yang memiliki tinggi sekitar 27 meter. Untuk menutup kubah, dipergunakan sebuah produk yang juga digunakan di beberapa masjid raya seperti Masjid Raya Selangor di Syah Alam (Malaysia). Ciri lain dari masjid raksasa ini adalah pintu masuk ke dalam ruangan masjid tinggi dan besar dan mihrabnya adalah mihrab masjid terbesar di Indonesia.

Rancang bangun arsitektur MAS dikerjakan oleh tim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya bersama konsultan ahli yang telah berpengalaman membangun masjid-masjid besar di Indonesia. Mengingat posisi lahan yang labil dengan tingkat kekerasan yang minim, maka pembuatan pondasi dilakukan dengan system pondasi dalam atau pakubumi. Tidak kurang dari 2000 tiang pancang bagi pondasi masjid ini. 

Untuk kelancaran pembangunan, berdasar rekomendasi dari Departemen Perhubungan dan Departemen Pekerjaan Umum membuka jalan tol menuju masjid, untuk mengangkat alat-alat berat yang tidak mungkin bisa melalui akses jalan pemukiman penduduk.
Mengingat posisi tanah labil dengan tingkat kekerasan yang minim, maka pembuatan pondasi dilakukan dengan system pondasi dalam atau pakubumi, dengan menancapkantiang pancang. Sempat terjadi kekurangan stok tiang pancang sehingga harus dipasok dari Jawa Tengah. Tiang pancang yang diperlukan untuk berdirinya masjid ini sebanyak tidak kurang dari 2000 tiang pancang. Proses pemancangan tiang pondasi ini menghabiskan waktu kurang lebih tiga bulan. 

Elemen arsitektur MAS juga didesain sedemikian rupa, untuk mencapai keindahan, kemewahan serta keanggunan. Antara lain elemen hiasan kaca patri (steined glass). Hiasan kaca patri yang digunakan masjid ini dibuat dengan sistem triple glazed unit. Yaitu pelapisan panel kaca patri atau panel bevel dengan kaca tempered yang menggunakan bahan dan mesin-mesin buatan Amerika. Triple glazed unit ini selain menghemat biaya, juga sangat baik untuk keperluan peredam suara bising.
 

Masjid Istiqlal Jakarta

Sejarah


Pada tahun 1953 beberapa ulama mencetuskan ide untuk mendirikan masjid megah yang akan menjadi kebanggaan warga Jakarta sebagai ibukota dan juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Mereka adalah KH. Wahid Hasyim, Menteri Agama RI pertama, yang melontarkan ide pembangunan masjid itu bersama-sama dengan H. Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto dan Ir. Sofwan beserta sekitar 200-an orang tokoh Islam pimpinan KH. Taufiqorrahman. Ide itu kemudian diwujudkan dengan membentuk Yayasan Masjid Istiqlal.
Pada tanggal 7 Desember 1954 didirikan yayasan Masjid Istiqlal yang diketuai oleh H. Tjokroaminoto untuk mewujudkan ide pembangunan masjid nasional tersebut. Gedung Deca Park di Lapangan Merdeka (kini Jalan Medan Merdeka Utara di Taman Museum Nasional), menjadi saksi bisu atas dibentuknya Yayasan Masjid Istiqlal. Nama Istiqlal diambil dari bahasa Arab yang berarti Merdeka sebagai simbol dari rasa syukur bangsa Indonesia atas kemerdekaan yang diberikan oleh Allah SAW. Presiden pertama RI Soekarno menyambut baik ide tersebut dan mendukung berdirinya yayasan masjid Istiqlal dan kemudian membentuk Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal (PPMI).
Penentuan Lokasi Masjid Istiqlal
Penentuan lokasi masjid sempat menimbulkan perdebatan antara Bung Karno dan Bung Hatta yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI. Bung Karno mengusulkan lokasi di atas bekas benteng Belanda Frederick Hendrik dengan Taman Wilhelmina yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch pada tahun 1834 yang terletak di antara Jalan Perwira, Jalan Lapangan Banteng, Jalan Katedral dan Jalan Veteran. Sementara Bung Hatta mengusulkan lokasi pembangunan masjid terletak di tengah-tengah umatnya yaitu di Jalan Thamrin yang pada saat itu disekitarnya banyak dikelilingi kampung, selain itu ia juga menganggap pembongkaran benteng Belanda tersebut akan memakan dana yang tidak sedikit. Namun akhirnya Presiden Soekarno memutuskan untuk membangun di lahan bekas benteng Belanda, karena di seberangnya telah berdiri gereja Kathedral dengan tujuan untuk memperlihatkan kerukunan dan keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia.
Sayembara Desain Masjid Istiqlal
Setahun sebelumnya, Ir. Soekarno menyanggupi untuk membantu pembangunan masjid, bahkan memimpin sendiri penjurian sayembara desain maket masjid. Setelah melalui beberapa kali sidang, di Istana Negara dan Istana Bogor, dewan juri yang terdiri dari Prof.Ir. Rooseno, Ir.H. Djuanda, Prof.Ir. Suwardi, Hamka, H. Abubakar Aceh, dan Oemar Husein Amin.
Pada tahun 1955 Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal mengadakan sayembara rancangan gambar atau arsitektur masjid Istiqlal yang jurinya diketuai oleh Presiden Soekarno dengan hadiah berupa uang sebesar Rp. 75.000; serta emas murni seberat 75 gram. Sebanyak 27 peserta mengikuti sayembara, namun dari seluruh peserta hanya 5 peserta yang memenuhi syarat:
  1. F. Silaban dengan rancangannya “Ketuhanan”
  2. R. Oetoyo dengan rancangannya “Istighfar”
  3. Hans Groenewegen dengan rancangannya “Salam”
  4. Mahasiswa ITB (5 orang) rancangannya “Ilham 5”
  5. Mahasiswa ITB (3 orang) rancangannya “Chatulistiwa”
Setelah proses penjurian yang panjang dengan mempelajari rancangan arsitektur beserta makna yang terkandung didalamnya berdasarkan gagasan para peserta maka akhirnya pada 5 Juli 1955 atas perintah Presiden Soekarno memutuskan desain rancangan dengan judul “Ketuhanan” karya Frederich Silaban dipilih sebagai pemenang sebagai model dari Masjid Istiqlal.
Sang Arsitek Masjid Beragama Kristen
Frederich Silaban adalah seorang arsitek beragama Kristen kelahiran Bonandolok Sumatera, 16 Desember 1912, anak dari pasangan suami istri Jonas Silaban Nariaboru. Ia adalah salah satu lulusan terbaik dari Academie van Bouwkunst Amsterdam tahun 1950. selain membuat desain masjid Istiqlal ia juga merancang kompleks Gelanggang Olahraga Senayan.
Untuk menyempurnakan rancangan masjid Istiqlal F. Silaban mempelajari tata cara dan aturan orang muslim melaksanakan shalat dan berdoa selama kurang lebih 3 bulan dan selain itu ia juga mempelajari banyak pustaka mengenai masjid-masjid di dunia.
Awal Pembangunan Masjid Istiqlal
Pada sekitar tahun 1950 hingga akhir tahun 1960-an Taman Wilhelmina di depan Lapangan Banteng dikenal sepi, gelap, kotor dan tak terurus. Tembok-tembok bekas bangunan benteng Frederik Hendrik di taman dipenuhi lumut dan rumput ilalang dimana-mana. Kemudian tahun 1960, di tempat yang sama, ribuan orang yang berasal dari berbagai kalangan masyarakat biasa, pegawai negeri, swasta, alim ulama dan ABRI bekerja bakti membersihkan taman tak terurus di bekas benteng penjajah itu.
Setahun kemudian, tepatnya 24 Agustus 1961, masih dalam bulan yang sama perayaan kemerdekaan RI, menjadi tanggal yang paling bersejarah bagi umat muslimin di Jakarta khususnya, dan Indonesia umumnya. Untuk pertama kalinya, di bekas taman itu, kota Jakarta memiliki sebuah masjid besar. Sebuah masjid yang dimaksudkan sebagai simbol kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Padanan katanya dalam bahasa Arab berarti merdeka dan disepakati diberi nama Istiqlal sehingga jadilah, Masjid Istiqlal namanya.
Tanggal yang bertepatan dengan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW itu, dipilih sebagai momen pemancangan tiang pertama oleh Presiden pertama RI, Ir. Soekarno yang ketika itu langsung bertindak sebagai Kepala Bidang Teknik.
Proses Panjang Pembangunan Masjid Istiqlal
Seiring dengan iklim politik dalam negeri yang cukup memanas, proyek ambisius itu tersendat-sendat pembangunannya, karena berbarengan dengan pembangunan monumen lain seperti Gelora Senayan, Monumen Nasional, dan berbagai proyek mercu suar lainnya. Hingga pertengahan tahun ’60-an proyek Masjid Istiqlal terganggu penyelesaiannya. Puncaknya ketika meletus peristiwa G 30 S/PKI tahun ’65-’66, pembangunan Masjid Istiqlal bahkan terhenti sama sekali.
Barulah ketika Himpunan Seniman Budayawan Islam memperingati miladnya yang ke-20, sejumlah tokoh, ulama dan pejabat negara tergugah untuk melanjutkan pembangunan Masjid Istiqlal. Dipelopori oleh Menteri Agama KH. M. Dahlan upaya penggalangan dana mewujudkan fisik masjid digencarkan kembali. Presiden Soekarno, yang pamornya di mata masyarakat mulai luntur, kedudukannya dalam kepengurusan diganti oleh KH. Idham Chalied yang bertindak sebagai koordinator panitia nasional Masjid Istiqlal yang baru. Lewat kepengurusan yang baru, masjid dengan arsitektur bergaya modern itu selesai juga pembangunannya.
Semula pembangunan masjid direncanakn akan memakan waktu selama 45 tahun namun dalam pelaksanaannya ternyata jauh lebih cepat. Bangunan utama dapat selesai dalam waktu 6 tahun tepatnya pada tanggal 31 Agustus 1967 sudah dapat digunakan yang ditandai dengan berkumandangnya adzan Maghrib yang pertama.
Secara keseluruhan pembangunan masjid Istiqlal diselesaikan dalam kurun waktu 17 tahun. Peresmiannya dilakukan oleh presiden Soeharto pada tanggal 22 Februari 1978. Kurun waktu pembangunannya telah melewati dua periode masa kepemimpinan yaitu Orde Lama dan Orde Baru. Pendanaan pembangunan masjid ini pada masa Orde Lama direalisasikan melalui proyek Mandataris sementara pada masa Orde Baru menjadi bagian dari Proyek RePelita (Rencana Pembagunan Lima Tahun). Kini masjid Istiqlal berdiri megah di Ibukota Jakarta dan menjadi kebanggaan seluruh masyarakat Indonesia.
BANGUNAN MASJID ISTIQLAL DAN SPESIFIKASINYA

 

Masjid Istiqlal dari kejauhan.
Masjid Istiqlal menerapkan prinsip minimalis. Secara umum masjid Istiqlal terdiri dari gedung induk, gedung pendahulu dan emper sampingnya, teras raksasa, dan emper keliling serta menara. Ruang-ruang terbuka atau plaza di kiri-kanan bangunan utama dengan tiang-tiang lebar di antaranya, dimaksudkan oleh perancangnya untuk memudahkan sirkulasi udara dan penerangan yang alami serta mendat
angkan kesejukan hati bagi para jamaah yang beribadah.
Spesifikasi Masjid Istiqal:
Luas tanah 12 ha
Luas bangunan  7 ha
Luas lantai 72.000 m2
Luas atap 21.000 m2
Dalam pembangunan masjid ini dibutuhkan:
Semen 78.000 zak dari Gresik
Baja 337 ton
Marmer 93.000 m2
Keramik 11.400 m2
Aspal 21.500 m2
BAGIAN-BAGIAN BANGUNAN MASJID ISTIQLAL
A. Gedung Induk
TINGGI : 60 meter, 5 tingkat symbol shalat 5 waktu
PANJANG : 100 meter
LEBAR : 100 meter
Tiang pancang : 2.361 buah
Bangunan utama ini adalah gedung utama dimana tempat ini dapat menampung 100.000. jemaah pada waktu shalat Idul Fitri dan Idul Adha.

KUBAH BESAR dengan diameter 45 meter terbuat dari kerangka baja stainless steel dari Jerman Barat dengan berat 86 ton sementara bagian luarnya dilapisi dengan keramik. Diameter 45 meter merupakan simbol penghormatan dan rasa syukur atas kemerdekaan sesuai dengan nama Istiqlal itu sendiri.
Bagian bawah sekeliling kubah terdapat kaligrafi Surat Yassin yang dibuat oleh K.H Fa’iz. >Updated informasi: Bagian dalam di bawah sekeliling kubah terdapat kaligrafi Surat Alfateha, Surat Thaha ayat 14, Ayat Kursi, dan Surat Al Ikhlas.
Dari luar atap bagian atas kubah dipasang penangkal petir berbentuk lambang Bulan dan Bintang yang terbuat dari stainless steel dengan diameter 3 meter dan berat 2,5 ton
Dari dalam kubah di topang oleh 12 pilar berdiameter 2,6 meter dengan tinggi 12 meter, angka ini merupakan simbol angka kelahiran nabi Muhammad SAW yaitu 12 Rabiul Awal.
Seluruh bagian di gedung utama ini dilapisi marmer yang didatangkan langsung dari Tulungagung seluas 36.980 m2.
Lantainya ditutupi karpet merah sumbangan dari pemerintah Kerajaan Arab.
B. Gedung Pendahulu dan Emper Samping
Tinggi : 52 meter
Panjang : 33 meterLebar : 27 meter
Bagian memiliki lima lantai yang terletak di belakang gedung utama yang diapit 2 sayap teras. Luas lantainya 36.980 m2 dengan dilapisi 17.300 m2. jumlah tiang pancangnya sebanyak 1800 buah. Di atas gedung ini ada sebuah kubah kecil. Fungsi utama dari gedung ini setiap jamaah dapat menuju gedung utama secara langsung. Selain itu juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat perluasan shalat bila gedung utama penuh.
C. Teras Raksasa
Teras raksasa terbuka seluas 29.800 m2 terletak di sebelah kiri belakang gedung induk. Teras ini dibuat untuk menampung jamaah pada saat shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Arah poros teras ini mengarah ke Monument Nasional menandakan masjid ini adalah masjid nasional. Selain itu teras ini juga berfungsi sebagai tempat acara-acara keagamaan seperti MTQ dan pada emper tengah dahulu biasa digunakan untuk manasik (latihan) haji.
D. Emper Keliling
Emper ini mengelilingi teras raksasa dan emper tengah yang sekelilingya terdapat 1800 pilar guna menopang bangunan emper.
Panjang : 165 meter
Lebar : 125 meter
>BEDUG RAKSASA
Di sudut sebelah tenggara terdapat bedug raksasa yang berfungsi sebagai alat pertanda waktu shalat. Bedug merupakan salah satu ciri ke-Islaman Indonesia dimana hanya terdapat di masjid-masjid Indonesia.

Bedug Raksasa Masjid Istiqlal (foto: arie saksono)
Bedug ini terbuat dari kayu meranti dari Kalimantan Timur yang konon berumur 300 tahun. Garis tengah/ diameter depan adalah 2 meter sedangkan diameter belakang adalah 1,71 meter. Sementara panjang keseluruhan adalah 3 meter dengan berat total 2,3 ton.
Kulit pada bedug adalah kulit sapi. Dibutuhkan 2 lembar kulit sapi dari 2 ekor sapi dewasa. Bagian depan adalah kulit sapi jantan sedangkan bagian belakang adalah kulit sapi betina. Untuk menempelkan kulit ini dibutuhkan 90 paku yang terbuat dari kayu Sonokeling yang pembuatannya membutuhkan waktu 60 hari di Jepara Jawa Tengah.
Kaki penopang bedug disebut Jagrag setinggi 3,8 meter pada kakinya terdapat tulisan Allah dalam segilima yang melambangkan rukun Islam dan waktu shalat. Di sisi lain terdapat tulisan “Bismillahirrahmanirrahim”. Pada ke-empat sisi kakinya terdapat tulisan dua kalimat syahadat. Pada bagian Jagrag keseluruhan ada 27 buah kaligrafi ukiran SuryaSangkala (tahun matahari) yang merupakan pengaruh kebudayaan Hindu sementara pada bagian atas ada ornament ukiran menyerupai naga yang merupakan pengaruh Budha. Sehingga secara keseluruhan bedug ini merupakan wujud dari akulturasi islam dengan berbagai kebudayaan lainnya yang ada di Indonesia.
E. Menara / Minaret
TINGGI : 6666 centimeter = 66,66 meter
DIAMETER : 5 meter
Bangunan menara meruncing ke atas ini berfungsi sebagai tempat Muadzin mengumandangkan Azan. Di atasnya terdapat banyak pengeras suara yang dapat menyuarakan azan ke kawasan sekitar masjid.
Puncak menara yang meruncing dirancang berlubang-lubang terbuat dari kerangka baja tipis. Angka 6666 merupakan symbol dari jumlah ayat yang terdapat dalam AL Quran.
F. Halaman dan Air Mancur MASJID ISTIQLAL
Halaman masjid Istiqlal seluas 9,5 hektar. Halaman ini dapat menampung kurang lebih 800 kendaraan sekaligus melalui 7 buah pintu gerbang masuk yang ada. Di halaman masjid terdapat tiga jembatan yang panjangnya sekitar 21 sampai 25 meter.
Di dalam kompleks masjid di sebelah selatan terdapat air mancur yang berada di tengah-tengah kolam seluas ¾ hektar. Air mancur ini dapat memancarkan air setinggi 45 meter.
Halaman masjid Istiqlal dikelilingi pepohonan yang rindang agar suasana masjid terasa sejuk sehingga akan menambah kekhusukan jamaah beribadah di masjid ini.
G. Tempat Wudhu, Air, dan Penerangan
Tempat wudhu terdapat di beberapa lokasi di lantai dasar yaitu di sebelah utara, timur maupun selatan gedung utama. Tempat ini dilengkapi dengan kran khusus sebanyak 660 buah sehingga secara bersamaan 660 orang dapat berwudhu sekaligus.
Sedangkan toilet terdapat juga di lantai dasar sebelah timur di bawah teras raksasa. Toilet ini tersedia untuk 80 orang yang terbagi dua kompleks, untuk pria dan wanita. Selain itu juga terdapat 52 kamar mandi yang dapat dikunci dan beberapa toilet di lantai sebelah selatan 12 buah, barat 12 buah dan timur 28 buah.Keperluan wudhu, kamar mandi dan toilet ini dipasok sebanyak 600 liter setiap hari per menit dari PAM.
Penerangan masjid Istiqlal menggunakan listrik dari PLN, selain itu juga menggunakan 3 generator berkekuatan masing-masing 110 kva dan sebuah generator besar 500 kva. Pendingin ruangan hanya digunakan bagi ruangan-ruangan kantor di lantai bawah dengan menggunakan sistem kontrol terpusat.
H. Lantai Dasar.
Lantai dasar masjid ini luasnya 2,5 ha dahulu dibiarkan kosong dan hanya digunakan dalam keadaan darurat untuk menampung masyarakat DKI Jakarta bila dalam keadaan bahaya. Namun sejak tahun 1978 atas perintah Presiden Soeharto lantai ini digunakan untuk kantor organisasi keagamaan. Sekarang, masjid ini semarak dengan berbagai aktivitas umat muslim dan organisasi islam di dalamnya. Ada MUI, Dewan Masjid Asia dan Lautan Teduh, Dewan Masjid Indonesia, Pusat Perpustakaan Islam Indonesia, LPTQ dan BP 4 Pusat. Bahkan di atas lahan di sekeliling masjid Istiqlal, sebagian dipergunakan untuk kegiatan ekonomi, warung makan, cenderamata, dan terutama setiap hari Jum’at ramai dipenuhi pedagang dan pembeli sehabis menunaikan shalat Jum’at, yang dikenal dengan pasar Jum’atan.
(Disusun dari berbagai sumber). https://sites.google.com/site/muhammadrasuly/team-sponsors/sejarah-masjid-istiqlal-jakarta

Sunan Gunung Jati

Asal Usul Sunan Gunung Jati

  

 Dalam usia yang begitu muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir tapi anak yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.

Sewaktu berada di negeri Mesir Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulam besar didaratan timur tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.

Perjuangan Sunan Gunung Jati

Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunung Jati. Sedangkan Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunung Jati berperang melawan Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunung Jati adalah makam dekat Sunan Gunung Jati yang ada tulisan Tubagus Pasai adalah Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut Lidah Orang Portugis......

Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang ke negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya. Syarifah Muda’im minta diizinkan tinggal di Pasambangan atau Gunung Jati.

Syarifah Muda’im dan puteranya Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Lahfi. Sehingga kemudian hari Syarif Hidayatullah terkenal sebagai Sunan Gunung Jati. Tibalah saat yang ditentukan, pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479 karena usia lanjut pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhan yaitu orang yang dijunjung tinggi.

Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tetapi tidak mau. Meski Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran.

Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh Adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan puteri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinannya inilah kemudian Syarif Hidayatullah dikaruniai dua orang putera yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama Islam di tanah jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati tidak bekerja sendirian, beliau sering bermusyawarah dengan anggota para wali  lainnya di mesjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdirinya mesjid Demak.

Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memploklamirkan diri sebagai raja yang pertama dengan gelar Sultan. Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.

Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti: Surakanta, Japura, Wanagiri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Keslutanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.

Bahkan Sunan Gunung Jati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan puteri Kaisar Cina bernama puteri Ong Tien. Kaisar Cina pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.

Sesudah kawin dengan Sunan Gunung Jati, puteri Ong Tien diganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah puteri Ong Tien ini membekali puterinya dengan harta benda yang tidak sedikit. Sebagian besar barang-barang peninggalan puteri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana dan Mesjid Cirebon kemudian dihiasi lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina.

Mesjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1980 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau isteri Sunan Gunung Jati. Dari pembangunan mesjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan umat. Selesai membangun mesjid, diteruskan dengan membangun jalan raya yang menhubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam diseluruh tanah pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.

Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi dilihatnya para tamu undangan menertawakan kekonyolan itu, diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah puteri gurunya.

Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin memperluas kekuasaannya ke pulau jawa. Pelabuhan sunda kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Ada salah seorang pejuang Malaka yang ikut ke tanah jawa yaitu Fatahillah. Ia bermaksud meneruskan perjuangannya di tanah jawa. Dan dimasa Sultan Trenggana ia diangkat menjadi panglima perang.

Pengalaman adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya bertempur di Malaka tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah, Portugis kembali ke Malaka, sedang tentara Pajajaran cerai berai tak menentuk arahnya.

Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putera Sunan Gunung Jati yang bernama Pangeran Sebakingking. Dikemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin.

Kurang lebih sekitar tahun 1479, Sunan Gunung Jati pergi ke daratan Cina dan tinggal didaerah Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil.

Daratan Cina sejak lama dikenal sebagai gudangnya ilmu pengobatan, maka disanalah Sunan Gunung Jati juga berdakwah dengan jalan memanfaatkan ilmu pengobatan. Beliau menguasai ilmu pengobatan tradisional. Disamping itu , pada setiap gerakan fisik dari ibadah Sholat sebenarnya merupakan gerakan ringan dari terapi pijat atau akupuntur, terutama bila seseorang mau mendirikan Sholat dengan baik, benar lengkap dengan amalan sunah dan tuma’ninahnya. Dengan mengajak masyarakat Cina agar tidak makan daging babi yang mengandung cacing pita, dan giat mendirikan sholat lima waktu, maka orang yang berobat kepada Sunan Gunung Jati banyak yang sembuh sehingga nama Gunung Jati menjadi terkenal di seluruh daratan Cina.

Di negeri naga itu Sunan Gunung Jati berkenalan dengan Jenderal Ceng Ho dan sekretaris kerajaan bernama Ma Huan, serta Feis Hsin, ketiga orang ini sudah masuk Islam. Pada suatu ketika Sunan Gunung Jati berkunjung ke hadapan kaisar Hong Gie, pengganti kaisar Yung Lo dengan puteri kaisar yang bernama Ong Tien. Menurut versi lain yang mirip sebuah legenda, sebenarnya kedatangan Sunan Gunung Jati di negeri Cina adalah karena tidak sengaja. Pada suatu malam, beliau hendak melaksanakan sholat tahajjud. Beliau hendak sholat di rumah tetapi tidak khusu’ lalu beliau sholat di mesjid, di mesjid juga belum khusu’. Beliau heran padahal bagi para wali, sholat tahajjud itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kemudian Sunan Gunung Jati sholat diatas perahu dengan khusu’. Bahkan dapat tidur dengan nyenyak setelah sholat dan berdo’a.

Ketika beliau terbangun beliau merasa kaget. Daratan pulau jawa tidak nampak lagi. Tanpa sepengetahuannya beliau telah dihanyutkan ombak hingga sampai ke negeri Cina. Di negeri Cina beliau membuka praktek pengobatan. Pendudu Cina yang berobat disuruhnya melaksanakan sholat. Setelah mengerjakan sholat mereka sembuh. Makin hari namanya makin terkenal, beliau dianggap sebagai sinshe yang berkepandaian tinggi terdengar oleh kaisar. Sunan Gunung Jati dipanggil keistana, kaisar hendak menguji kepandaian Sunan Gunung Jati sebagai tabib dia pasti dapat mengetahui mana seorang yang hamil muda atau belum hamil.

Dua orang puteri kaisar disuruh maju. Seorang diantara mereka sudah bersuami dan sedang hamil muda atau baru dua bulan. Sedang yang seorang lagi masih perawan namun perutnya diganjal dengan bantal sehingga nampak seperti orang hamil. Sementara yang benar-benar hamil perutnya masih kelihatan kecil sehingga nampak seperti orang yang belum hamil. Hai tabib asing, mana diantara puteriku yang hamil? Tanya kaisar.

Sunan Gunung Jati diam sejenak. Ia berdoa kepada Tuhan.

Hai orang asing mengapa kau diam? Cepat kau jawab! Teriak kaisar Cina.

Dia! Jawab Sunan Gunung Jati sembari menunjuk puteri Ong Tien yang masih Perawan. Kaisar tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Demikiann pula seluruh balairung istana kaisar.

Namun kemudian tawa mereka terhenti, karena puteri Ong Tien menjerit keras sembari memegangi perutya.

Ayah! Saya benar-benar hamil.

Maka gemparlah seisi istana. Ternyata bantal diperut Ong Tien telah lenyap entah kemana. Sementara perut puteri cantik itu benar-benar membesar seperti orang hamil.

Kaisar menjadi murka. Sunan Gunung Jati diusir dari daratan Cina. Sunan Gunung Jati menurut, hari itu juga ia pamit pulau ke pulau jawa. Namun puteri Ong Tien ternyata terlanjur jatuh cinta kepada Sunan Gunung Jati maka dia minta kepada ayahnya agar diperbolehkan menyusul Sunan Gunung Jati ke pulau Jawa.

Kaisar Hong Gie akhirnya mengijinkan puterinya menyusul Sunan Gunung Jati ke pulau Jawa. Puteri Ong Tien dibekali harta benda dan barang-barang berharga lainnya seperti bokor, guci emas dan permata. Puteri cantik itu dikawal oleh tiga orang pembesar kerajaan yaitu Pai Li bang seorang menteri negara. Lie Guan Chang dan Lie Guan Hien. Pai Li Bang adalah salah seorang murid Sunan Gunung Jati tatkala beliau berdakwah di Cina.

Dalam pelayarannya ke pulau jawa, mereka singgah di kadipaten Sriwijaya. Begitu mereka datang para penduduk menyambutnya dengan meriah sekali. Mereka merasa heran.

Ada apa ini? Pai Li Bang bertanya kepada tetua masyarakat Sriwijaya.

Tetua masyarakat balik bertanya. Siapa yang bernama Pai Li Bang?

Saya sendiri, jawab Pai Li Bang.

Kontan Pai Li Bang digotong penduduk diatas tandu. Dielu-elukan sebagai pemimpin besar. Dia dibawa ke istana Kadipaten Sriwijaya.

Setelah duduk dikursi Adipati, Pai Li Bang bertanya, sebenarnya apa yang terjadi?

Tetua masyarakat itu menerangkan. Bahwa adipati Ario Damar selaku pemegang kekuasaan Sriwijaya telah meninggal dunia. Penduduk merasa bingung mencari penggantinya, karena putera Ario Damar sudah menetap di Pulau Jawa. Yaitu Raden Fatah dan Raden Hasan.

Dalam kebingungan itulah muncul Sunan Gunung Jati, beliau berpesan bahwa sebentar lagi akan datang rombongan muridnya dari negeri Cina, namanya Pai Li Bang. Muridnya itulah yang pantas menjadi pengganti Ario Damar. Sebab muridnya itu adalah seorang menteri negara di negeri Cina.

Setelah berpesan begitu Sunan Gunung Jati meneruskan pelayarannya ke pulau jawa. Pai Li Bang memang muridnya. Dia semakin kagum dengan gurunya yang ternyata mengetahui sebelum kejadian, tahu kalau dia bakal menyusul ke pulau jawa. Pai Li Bang tidak menolak keinginan gurunya, dia bersedia menjadi adipati Sriwijaya. Dalam pemerintahannya Sriwijaya maju pesat sebagai kadipaten yang paling makmur dan aman. Setelah Pai Li Bang meninggal dunia maka nama kadipaten Sriwijaya diganti menjadi nama kadipaten Pai Li Bang, dalam perkembangannya karena proses pengucapan lidah orang Sriwijaya maka lama kelamaan kadipaten itu lebih dikenal dengan sebutan Palembang hingga sekarang.

Sementara itu puteri Ong Tien meneruskan pelayarannya hingga ke pulau jawa. Sampai di Cirebon dia mencari Sunan Gunung Jati, tapi Sunan Gunung Jati sedang berada di Luragung. Puteri itupun menyusulnya. Pernikahan antara puteri Ong Tien denga Sunan Gunung Jati terjadi pada tahun 1481, tapi sayang pada tahun 1485 puteri Ong Tien meninggal dunia. Maka jika anda berkunjung ke makam Sunan Gunung Jati di Cirebon jangan lah merasa heran disana banyak ornamen cina dan nuansa cina lainnya. Memang ornamen dan barang-barang antik itu berasal dari cina.

Wali songo selalu bermusyawarah apabila menghadapi suatu masalah pelik yang berkembang di masyarakat. Termasuk kebijakan dakwah yang mereka lakukan kepada masyarakat jawa.

Mula-mula sunan Ampel tidak setuju atas cara dakwah yang dilakukan Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Namun Sunan Kudus mengajukan pedapatnya. Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada agama tauhid maka kita akan memberikannya warna Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus ke arah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekuatiran kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa dibelakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya.

Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersbut sebanarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar Islam cepat diterima oleh orang jawa, dan ini terbukti, dikarenakan dua wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolerir Islam maka penduduk jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau menerima Islam dengan lebih dahulu dan sedikit  demi sedikit kemudian mereka akan diberi pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman mereka.

Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat umat semakin berhati-hari menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau telah menyelamatkan aqidah umat agar tidak tergelincitr ke lembah musyrik.

Jumat, 12 September 2014

Sunan Muria

Asal usul Sunan Muria



Beliau adalah putera Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.


Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya disebelah utara kota Kudus. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliau lah satu-satu wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.

Sakti Mandraguna

Bahwa Sunan Muria itu adalah wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan dengan letak padepokannya yang terletak di atas gunung. Menuju ke makam Sunan Muria pun perlu tenaga ekstra karena berada diatas bukit yang tinggi.

Bayangkanlah, jika sunan Muria dan isterinya atau dengan muridnya setiap hari harus naik turun guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat. Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat tinggal Sunan Muria. Harus dengan jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria memiliki kesaktian yang tinggi, demikian pula dengan murid-muridnya.

Bukti bahwa Sunan Muria  adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam kisah perkawinan dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah puteri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.

Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau.

Pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap 20 tahun. Murid-muridnya diundang semua. Seperti : Sunan Muria, Sunan Kudus, Adipati Pathak Warak, Kapa dan Adiknya Gentiri. Tetangga dekat jua diundang, demikian pula snak kadang yang dari jauh.

Setelah tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik jelita. Terutama Dewi Roroyono yang telah berusia 20 tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar-mekarnya.

Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis itu.

Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pthak Warak belum menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar kecantikannya yang mempesona, sekarang gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus menerus.

Karena dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih setelah lelaki itu bertindak kurang ajar.

Tentu saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketiak lelaki itu berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang adipati.

Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi dilihatnya para tamu undangan menertawakan kekonyolan itu, diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah puteri gurunya.

Roroyono masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak.

Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ketempatnya masing-masing. Tamu dari jauh terpaksa menginap di rumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum dapat memejamkan matanya.

Pathak Warak kemudian bangkit dari tidurnya. Mengendap-ngendap ke kamar Roroyono. Gadis itu diserepnya sehingga tidak sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak Warak masuk dan membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono  dibaw alari ke Mandalika, wilayah Keling atau Kediri.

Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa puterinya diculik oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa puterinya kembali ke ngerang akan dijodohkan dengan puterinya itu dan bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memnuhi harapan Sunan Ngerang.

Saya akan berusaha mengambil Diajeng Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, kata Sunan Muria.

Tetapi ditengah perjalan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah daerah Keling.

Mengapa kakang tampak tergesa-gesa? Tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak.

Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono.

Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid kakang sangat membutuhkan bimbingan. Biarlah kami berusaha merebut diajeng Dewi Roroyono kembali. Kalau berhasil kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya sekedar membantu, kata kapa.

Aku masih sanggup untuk merebutnya sendiri, ujar Sunan Muria.

Itu benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam lebih penting, percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali, kata kapa ngotot.

Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok para santrinya di padepokan Gunung Muria.

Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata minta bantuan seorang Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang tandingannya. Usaha itu berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.

Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Ditengah jalan beliau bertemu dengan Adipati Pathak Warak.

Hai Pathak Warak berhenti kau, bentak Sunan Muria.

Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti karena Sunan Muria menghadang didepannya.

Minggir!! Jangan menghalangi Jalanku, hardik Pathak Warak.

Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono !

Goblok!! Dewi Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri!! Kini aku hendak mengejar mereka!! Umpat Pathak Warak.

Untuk apa kau mengejar mereka?

Merebutnya kembali! Jawab Pathak Warak dengan sengit.

Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Dewi Roroyono telah dijodohkan denganku, ujar Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda.

Tanpa basa basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangkak ke arah Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia bukan tandingan putera Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian.

Hanya dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh, tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.

Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan entiri telah bercerita jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Dewi Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan pun segera dilaksanakan.

Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang hidupnya serba berkecukupan.

Sedang Sunan Muria memboyong isterinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup Bahagia, karena merupakan pasangan yang ideal.

Tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka tidak bisa tidur. Wajah wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah diperisteri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya penyesalan yang menghujam didada. Mengapa mereka dulu terburu-buru menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah sekarang menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehotmatan (kemaluan) mereka.

Andaikata Kapa dan Gentiri tidak memandang terus menerus kearah wajah dan tubuh Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona dan tidak terjerat oleh iblis yang memasang perangkap pada pandangan mereka.

Kini Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai isteri bersama secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka.

Gentiri berangkat lebih dahulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid Sunan Muria, terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas. Akhirnya gentiri tewas menemui ajalnya di puncak Gunung Muria.

Kematian Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke gunung Muria secara diam-diam dimalam hari. Tak seorangpun yang mengetahuinya.
Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyerep murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah, yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian yang dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita impiannya itu ke pulau sprapat.

Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro. Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat. Ini biasanya dilakukannya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah meneolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak.

Seperti ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan agung. Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain yang pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara sukarela.

Ternyata, kedatangan Kapa ke pulau Sparapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang Datuk.

Memalukan! Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan isteri kakang seperguruanmu sendiri itu! Hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.

Bapa Guru ini bagaiman, bukakah aku ini muridmu? Mengapa tidak kau bela? Protes Kapa.

Sampai matipun aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti walau pelakunya itu muridku sendiri !

Perdebatan antara guru dengan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai ditempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat isterinya sedang tergolek ditanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk.

Begitu mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa Langsung melancarkan serangan dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan belenggu yang dilakukan Kapa.

Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa.

Ternyata serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan lawan.

Karena Kapa menggunakan aji pamungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu itu akhirnya merenggut nyawanya sendiri.

Maafkan saya tuan Wiku….,ujar Sunan Muria agak menyesal. Tidak mengapa. Menyesal aku turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan kejahatan, gumam Sang Wiku.

Bagaimanapun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak.


Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke Padepokan dan hidup bahagia.

Sunan Kudus

Asal Usul Sunan Kudus

Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putera Raden Usman haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini disebelah utara kota Blora. Di dalam babad tanah jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Majapahit. Sunan ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan  Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh sunan Kudus yang puteranya sendiri yang bernama asli Ja’far Sodiq.



Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhinya berimbang.

Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin laskar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.

Guru-gurunya

Disamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.

Nama asil Kiai Telingsing ini adalah Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri cina yang datang ke pulau jawa bersama laksamana jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke pulau jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.

Di jawa, the Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak diantara sungai Tanggulangin dan sungai Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan hanya mengajarkan Islam, melainkan juga mengajarkan kepada penduduk seni ukir yang indah.

Banyak yang datang berguru seni kepada Kiai Telingsing, termasuk Ja’far Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari cina itu, Raden Ja’far Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Ja’far Sodiq dimasa akan datang yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.

Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.

 Cara Berdakwah yang Luwes

Strategi Pendekatan kepada Massa

Sunan Kudus termasuk pendukung gagasan, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut :
  1.  Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar dirubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
  2.  Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
  3. Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
  4. Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras didalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
  5.  Pada akhirnya boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik dengan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali dengan konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non-muslim.


Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran Giri.

Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhinya dapat dikompromikan.

Merangkul Masyarakat Hindu

Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Di dalam masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.

Pada suatu hari Sunan Kudus atau  Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dari kapal besar.

Sapi itu ditambatkan dihalaman rumah Sunan Kudus.

Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para dewa. Lalu apa yang dilakukan Sunan Kudus?

Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi dihadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus melukai hati rakyatnya sendiri.

Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.

Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai, Sunan Kudus membuka suara. Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab diwaktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.

Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Ja’far Sodiq itu adalah titisan dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. Demi rasa hormat saya kepada jenis hewn yang pernah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih sapi.

Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu.

Sunan kudus melanjutkan, salah satu diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah, kata Sunan Kudus.

Masyarakat semakin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an mereka menjadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.

Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil diraih akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat  berduyun-duyun masuk agama Islam.

Bentuk mesjid yang dibuat Sunan Kudus pun tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang  Hindu. Lihatlah menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak takut atau segan masuk ke dalam mesjid guna mendengarkan ceramah Sunan Kudus.

 Merangkul Masyarakat Budha

Sesudah berhasil menarik umat Hindu kedalam agama Islam hanya karena sikap toleransi yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara mesjid mirip dengan candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.

Sesudah mesjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat wudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca kepala kebo gumarang diatasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha, “Jalan berlipat delapan” atau Sanghika Marga” yaitu :
  •  Harus memiliki pengetahuan yang benar
  • Mengambil keputusan yang benar
  • Berkata yang benar
  • Hidup dengan cara yang benar
  • Bekerja dengan benar
  • Beribadah dengan benar
  • Dan menghayati agama dengan benar.


Usahanya pun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk itu Sunan Kudus memasang lambang  wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu, sehingga mereka berdatangan ke mesjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.

Selamatan Mitoni

Didalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.

Seperti diketahui, rakyat jawa banyak melakukan adat istiadat yang aneh, yang kadang kala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnnya berkirim sesaji dikuburan untuk menunjukkan bela sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni. Mitoni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual tersebut dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.

Contohnya, bila seorang isteri orang jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukan acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.

Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan diarahkan dalam  bentuk Islami. Acara selataman boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang. Sedangkan permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah seperti nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Maryam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering membaca surat Yusuf dan surat Maryam dalam Al-Qur’an.

Sebelum acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya atau sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya yang berbentuk tembang Asmarandana, Pucung dll itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan.

Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian diikrarkan (hajatkan dihajatan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau tempat-tempat sunyi dilingkungan tuan rumah.

Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh masyarakat. Baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam mesjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak Mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang isteri yang telah tiga bulan.

Sebelum masuk mesjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya dikolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dikalangan Hindu dan Budha. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat, tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina.

Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk mesjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya, disaat inilah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikuatirkan mereka jenuh Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.

Cara tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positipnya, rakyat ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke mesjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu.

Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya dimasa lalu. Rakyat menaruh simpati  dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adau kesaktian dan melalui kesenian, beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Didalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.

Sunan Kudus di Negeri Mekkah

Didalam legenda dikisahkan bahwa Raden Ja’far Sodiq itu suka mengembara, baik ke tanah Hindustan maupun ke tanah Suci Mekkah.

Sewaktu berada di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan disana ada wabah penyakit yang sukar diatasi. Penguasa negeri arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.

Sudah banyak orang mencoba tapi tidak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq menghadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambutnya dengan sinis.

Dengan apa tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu? Tanya sang Amir.

Dengan doa jawab Ja’far Sodiq singkat.

Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya, di tanah arab ini banyak ulama dan syekh-syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.

Saya mengerti memang tanah arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan, kata Ja’far Sodiq.

Hem, sungguh bernai tuan mengatakan demikian, kata amir itu dengan nada berang. Apa kekurangan mereka?

Anda sendiri yang menyebabkannya, kata Ja’far Sodiq dengan tenangnya. Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharapkan hadiah.

Sang Amir pun terbungkam seribu bahasa atas jawaban itu.

Ja’far Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan. Secara khusus Ja’far Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas dinegeri arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh.

Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikan kepada Ja’far Sodiq.

Tapi Ja’far Sodiq menolaknya, dia hanya ingin minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah jawa, dipasang di pengimaman mesjid Kudus yang didirikannya sekembali dari tanah suci.


Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Ja’far Sodiq yang bertugas didaerah itu. Karena mesjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Ja’far Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.