Asal Usul Sunan Kudus
Menurut salah satu sumber, Sunan
Kudus adalah putera Raden Usman haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang
Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini disebelah utara kota
Blora. Di dalam babad tanah jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah
memimpin pasukan Majapahit. Sunan ngudung selaku senopati Demak berhadapan
dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran
yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur
sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan
oleh sunan Kudus yang puteranya sendiri yang bernama asli Ja’far
Sodiq.
Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan
Kalijaga, dan bantuan pusaka Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan
Demak dan Majapahit akhinya berimbang.
Selanjutnya melalui jalan diplomasi
yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat
dihentikan. Adipati Terung yang memimpin laskar Majapahit diajak damai dan
bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini
keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak
dan menggempur tentara Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang
itu dimenangkan oleh pasukan Demak.
Guru-gurunya
Disamping belajar agama kepada
ayahnya sendiri, Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal.
Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.
Nama asil Kiai Telingsing ini adalah
Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri cina yang datang ke pulau
jawa bersama laksamana jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam
sejarah, jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke pulau jawa untuk
mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.
Di jawa, the Ling Sing cukup
dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang
terletak diantara sungai Tanggulangin dan sungai Juwana sebelah Timur. Disana
beliau bukan hanya mengajarkan Islam, melainkan juga mengajarkan kepada
penduduk seni ukir yang indah.
Banyak yang datang berguru seni
kepada Kiai Telingsing, termasuk Ja’far Sodiq itu sendiri. Dengan belajar
kepada ulama yang berasal dari cina itu, Raden Ja’far Sodiq mewarisi bagian
dari sifat positif masyarakat cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam
mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan
dakwah Ja’far Sodiq dimasa akan datang yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang
kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga
berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.
Cara Berdakwah yang Luwes
Strategi Pendekatan
kepada Massa
Sunan Kudus termasuk pendukung
gagasan, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada
masyarakat sebagai berikut :
- Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang
sukar dirubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau
radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
- Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi
mudah dirubah maka segera dihilangkan.
- Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap
kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit
demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari
belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
- Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras
didalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak
mengeruhkan airnya.
- Pada akhirnya boleh saja merubah adat dan kepercayaan
masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak
menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal
imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat
dan tertarik dengan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali
dengan konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap
otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang
dapat memikat masyarakat non-muslim.
Strategi dakwah ini diterapkan oleh
Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati.
Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh
Sunan Ampel maka mereka disebut kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat
Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau
Aliran Giri.
Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga,
kedua pendapat yang berbeda itu pada akhinya dapat dikompromikan.
Merangkul Masyarakat
Hindu
Di Kudus pada waktu itu penduduknya
masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam
tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan
lama dan memegang teguh adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Di dalam
masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada suatu hari Sunan Kudus
atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo
Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dari
kapal besar.
Sapi itu ditambatkan dihalaman rumah
Sunan Kudus.
Rakyat Kudus yang kebanyakan
beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan
Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan Hindu adalah hewan suci yang
menjadi kendaraan para dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang
dikutuk para dewa. Lalu apa yang dilakukan Sunan Kudus?
Apakah Sunan Kudus hendak
menyembelih sapi dihadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan
menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus melukai hati rakyatnya
sendiri.
Dalam tempo singkat halaman rumah
Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha. Setelah
jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam
rumahnya.
Sedulur-sedulur yang saya hormati,
segenap sanak kadang yang saya cintai, Sunan Kudus membuka suara. Saya melarang
saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab diwaktu saya masih
kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu
seekor sapi datang menyusui saya.
Mendengar cerita tersebut para
pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Ja’far Sodiq itu adalah
titisan dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. Demi rasa
hormat saya kepada jenis hewn yang pernah menolong saya, maka dengan ini saya
melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih sapi.
Kontan para penduduk terpesona atas
kisah itu.
Sunan kudus melanjutkan, salah satu
diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua dinamakan Surat Sapi atau
dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah, kata Sunan Kudus.
Masyarakat semakin tertarik. Kok ada
sapi di dalam Al-Qur’an mereka menjadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah
mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu
berhasil diraih akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun
masuk agama Islam.
Bentuk mesjid yang dibuat Sunan
Kudus pun tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah
menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh
dunia karena keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang
Hindu merasa akrab dan tidak takut atau segan masuk ke dalam mesjid guna
mendengarkan ceramah Sunan Kudus.
Merangkul Masyarakat
Budha
Sesudah berhasil menarik umat Hindu
kedalam agama Islam hanya karena sikap toleransi yang tinggi, yaitu menghormati
sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara mesjid mirip dengan
candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang
tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.
Sesudah mesjid berdiri, Sunan Kudus
membuat padasan atau tempat wudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan.
Masing-masing pancuran diberi arca kepala kebo gumarang diatasnya. Hal ini
disesuaikan dengan ajaran Budha, “Jalan berlipat
delapan” atau Sanghika Marga” yaitu :
- Harus memiliki pengetahuan yang benar
- Mengambil keputusan yang benar
- Berkata yang benar
- Hidup dengan cara yang benar
- Bekerja dengan benar
- Beribadah dengan benar
- Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya pun membuahkan hasil,
banyak umat Budha yang penasaran, untuk itu Sunan Kudus memasang lambang
wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu, sehingga mereka berdatangan
ke mesjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Selamatan Mitoni
Didalam cerita tutur disebutkan
bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih
berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti diketahui, rakyat jawa
banyak melakukan adat istiadat yang aneh, yang kadang kala bertentangan dengan
ajaran Islam, misalnnya berkirim sesaji dikuburan untuk menunjukkan bela
sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga,
selamatan neloni. Mitoni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara
ritual tersebut dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya
dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan
Muria.
Contohnya, bila seorang isteri orang
jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukan acara selamatan yang disebut mitoni
sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya
perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Adat tersebut tidak ditentang secara
keras oleh Sunan Kudus. Melainkan diarahkan dalam bentuk Islami. Acara
selataman boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada
para dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang
dihidangkan boleh dibawa pulang. Sedangkan permintaannya langsung kepada Allah
dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah seperti nabi Yusuf, dan
bila perempuan seperti Siti Maryam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu
harus sering membaca surat Yusuf dan surat Maryam dalam Al-Qur’an.
Sebelum acara selamatan dilaksanakan
diadakanlah pembacaan Layang Ambiya atau sejarah para Nabi. Biasanya yang
dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya
yang berbentuk tembang Asmarandana, Pucung dll itu masih hidup di kalangan
masyarakat pedesaan.
Berbeda dengan cara lama, pihak tuan
rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian diikrarkan (hajatkan
dihajatan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat setelah upacara sakral itu
dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di
kuburan atau tempat-tempat sunyi dilingkungan tuan rumah.
Ketika pertama kali melaksanakan
gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh
masyarakat. Baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam mesjid. Dalam
undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak Mitoni dan bersedekah atas
hamilnya sang isteri yang telah tiga bulan.
Sebelum masuk mesjid, rakyat harus
membasuh kaki dan tangannya dikolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus
membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama
dikalangan Hindu dan Budha. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu
mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat, tapi akibatnya
masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka
belum terbina.
Maka pada kesempatan lain, Sunan
Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini tidak usah membasuh tangan dan
kakinya waktu masuk mesjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat
berbondong-bondong memenuhi undangannya, disaat inilah Sunan Kudus menyisipkan
bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya
menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya
pada keterangan sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan
dikuatirkan mereka jenuh Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.
Cara tersebut kadang mengecewakan,
tapi disitulah letak segi positipnya, rakyat ingin tahu kelanjutan ceramahnya.
Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke mesjid, baik dengan undangan
maupun tidak, karena ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada
syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu,
yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu.
Dengan demikian Sunan Kudus berhasil
menebus kesalahannya dimasa lalu. Rakyat menaruh simpati dan
menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup
banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adau kesaktian dan
melalui kesenian, beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan
Maskumambang. Didalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran
agama Islam.
Sunan Kudus di Negeri
Mekkah
Didalam legenda dikisahkan bahwa
Raden Ja’far Sodiq itu suka mengembara, baik ke tanah Hindustan maupun ke tanah
Suci Mekkah.
Sewaktu berada di Mekkah beliau
menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan disana ada wabah penyakit yang sukar
diatasi. Penguasa negeri arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil
melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar
jumlahnya.
Sudah banyak orang mencoba tapi
tidak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq menghadap
penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambutnya dengan sinis.
Dengan apa tuan akan melenyapkan
wabah penyakit itu? Tanya sang Amir.
Dengan doa jawab Ja’far Sodiq
singkat.
Kalau hanya doa kami sudah puluhan
kali melakukannya, di tanah arab ini banyak ulama dan syekh-syekh ternama. Tapi
mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.
Saya mengerti memang tanah arab ini
gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga doa
mereka tidak terkabulkan, kata Ja’far Sodiq.
Hem, sungguh bernai tuan mengatakan
demikian, kata amir itu dengan nada berang. Apa kekurangan mereka?
Anda sendiri yang menyebabkannya,
kata Ja’far Sodiq dengan tenangnya. Anda telah menjanjikan hadiah yang
menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa
hanya karena mengharapkan hadiah.
Sang Amir pun terbungkam seribu
bahasa atas jawaban itu.
Ja’far Sodiq lalu dipersilahkan
melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan. Secara khusus Ja’far
Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit
mengganas dinegeri arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita
sakit keras secara mendadak langsung sembuh.
Bukan main senangnya hati sang Amir.
Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud
diberikan kepada Ja’far Sodiq.
Tapi Ja’far Sodiq menolaknya, dia
hanya ingin minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir
mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah jawa, dipasang di pengimaman
mesjid Kudus yang didirikannya sekembali dari tanah suci.
Rakyat kota Kudus pada waktu itu
masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para wali mengadakan sidang untuk
menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Ja’far
Sodiq yang bertugas didaerah itu. Karena mesjid yang dibangunnya dinamakan
Kudus maka Raden Ja’far Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.